INDIA (Rumahhufazh.or.id)- Punya kesempatan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, apa lagi di luar negeri tidak pernah terlintas dalam pikiran sorang pemuda yang berasal dari pinggiran kota Deli Serdang, Sumatera Utara bernama Satrio. Seperti anak remaja lainnya dia tumbuh dalam lingkungan pedesaan yang mutu pendidikannya jauh dari kata ‘standar’. Namun keinginan besar untuk mengubah nasib dan meningkatkan kondisi ekonomi keluarga menjadikan doa dan impiannya dikabulkan Allah SWT. Tidak ada yang mustahil di dunia ini bagi mereka yang berpegang teguh dengan ketentuan Allah SWT melalui ikhtiar dan kerja keras. Impian bukanlah fatamorgana yang bertanggar di alam mimpi semata, impian adalah cita-cita yang dapat direalisasikan melalui upaya dan perjuangan yang sungguh-sungguh.
‘Nekad’ adalah kata yang paling cocok untuk menilai keputusan yang diambil oleh Satrio, betapa tidak, Ibunya hanya seorang penjual keripik tempe keliling dan ayahnya adalah seorang buruh serabutan. Jangankan untuk membiayai kuliah anak-anaknya, untuk makan sehari-hari saja bergantung dengan hasil kerja dan dagangan yang terjual setiap harinya. Satrio beruntung punya seorang kerabat yang sudah dulu kuliah di negeri Gandhi tersebut, yang memiliki keyakinan kalau Satrio akan mampu bertahan dan belajar pada salah satu perguruan tinggi di India, meski sadar akan banyak tantangan yang akan dihadapi dikemudian hari. Satrio diajak hijrah ke India untuk mengadu nasib demi masa depan yang lebih cerah.
Satrio berhutang budi kepada orang-orang di kampungnya yang dengan ikhlas ‘patungan’ mengumpulkan dana untuk biaya keberangkatan Satrio ke negeri Gandhi, dengan harapan suatu saat nanti anak ini akan menjadi orang sukses yang tidak saja mampu mengangkat derajat keluarga tapi juga membawa nama baik kampung halamannya, disamping juga menunjukkan kepada orang-orang di luar sana, bahwa tanpa perhatian pemerintah atau yang mengaku wakil rakyat sekalipun akan ada seorang anak yang mampu menembus jarak dan batas waktu ke negeri lain untuk meraih cita-citanya. Bukan seikat uang yang diberikan orang tua kepada Satrio, tapi segumpal tanah dan sekantung air yang dimasukan ke dalam tas punggung yang akan di bawa oleh Satrio ke India. Semua itu, semata-mata hanya kultur dan kebiasaan orang-orang kampung jika ada sanak saudara yang akan pergi merantau akan dibawakan sebungkus tanah dan air, yang filosofinya agar ingat kampung halaman.
Ada hal yang menggelitik terjadi ketika transit di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia, kantung yang berisi tanah dan air itu ditahan pertugas imigrasi Malaysia, bermacam-macam alasan dilontarkan oleh Satrio, dari untuk bahan penelitian hingga obat tradisional, tetap saja ditolak dan petugas imigrasi bersikeras bahwa tanah dan air tersebut tidak boleh dibawa ke dalam pesawat. Lelah berdebat, Satrio pun akhirnya merelakan ‘jimatnya’ ditinggal di Malaysia. Satrio sempat berkata kepada petugas imigrasi dengan nada kesal “Pak Cik boleh simpan sekarang, tahun depan saya nak ambil lagi ‘tanah air’ saya”. Petugas tersebut hanya tersenyum sembari bertanya kemana tujuan Satrio berikutnya, Satrio menjawab dengan ketus “Pak Cik tak usah tanya kemana saya pergi, saya nak pergi untuk berkelana”. Petugas imigrasi tampak kesal dan mempersilahkan Satrio untuk segera pergi. Satrio berlalu pergi dengan melempar senyuman dan dalam hatinya berkata “sekarang skor nya 1 – 1..!”.
Apa yang dialami oleh Satrio setibanya di India, sangat relevan dengan apa yang dikatakan Imam Syarfi’i:
Pergilah (merantaulah) dengan penuh keyakinan, niscaya akan engkau temui lima kegunaan, yaitu Ilmu Pengetahuan, Adab, pendapatan, menghilangkan kesedihan, mengagungkan jiwa, dan persahabatan.
Sungguh aku melihat air yang tergenang membawa bau yang tidak sedap. Jika ia terus mengalir maka air itu akan kelihatan bening dan sehat untuk diminum. Jika engkau biarkan air itu tergenang maka ia akan membusuk.
Singa hutan dapat menerkam mangsanya, setelah ia meninggalkan sarangnya. Anak panah yang tajam tak akan mengenai sasarannya, jika tidak meninggalkan busurnya.
Jika engkau tinggalkan tempat kelahirnmu, engkau akan menemui derajat yang mulia ditempat yang baru, dan engkau bagaikan emas sudah terangkat dari tempatnya.
Mengawali langkahnya di India, kaki kanan diinjakkan terlebih dahulu oleh Satrio saat tiba di bandara Internasional New Delhi, India dengan mengucapkan kalimat Sholawat dan Tasbih berulang-ulang sebagai tanda syukur kepada Sang Penulis Taqdir. Rasa haru yang mendalam bahwa dia akan memulai sebuah pengembaraan mencari ilmu di sebuah negeri yang sebelumnya dapat dilihat dari film-film Bollywood di tanah air. Kini Satrio telah bergabung bersama mahasiswa-mahasiwa Indonesia lainnya dan membuka mata dan hatinya bahwa hijrah adalah sebuah keputusan yang tepat untuk mengawali perjalanan hidup yang lebih baik. Satrio bukan satu-satunya mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah yang belajar di India, ada beberapa mahasiswa hebat lainnya yang bernasib sama denganya, bahkan sudah ada yang meraih pendidikan S3 tanpa adanya bantuan finansial dari keluarga di tanah air. Mereka dipaksa oleh situasi dan tanggung jawab untuk membawa pulang ijazah sebagai sarjana luar negeri, sehingga mereka terpaksa bekerja sampingan di sela-sela aktivitas kuliah untuk memenuhi biaya kuliah dan kehidupan sehari-hari. Meski ada beberapa yang harus mundur dan kembali pulang ke tanah air dengan tangan kosong, karena tidak kuat menghadapi situasi dan hidup lingkungan yang asing. Meski secara ekonomi tidak ada masalah, namun faktor mental sangat menentukan tingkat kesabaran dan istiqomah seseorang.
Sadar bahwa Satrio hanya diberi ‘pancing’ bukan lauk pauk yang lezat di atas meja, dia sadar harus segera beradaptasi dengan lingkungan dan sesegera mungkin bisa mandiri. Maka dia ingat dengan apa yang disampaikan guru ngaji di kampungnya “Al-Quran itu Nak, berisi semua jawaban atas persoalan hidup yang kita hadapi, maka kembalikan semua pertanyaanmu pada Al-Quran, niscaya kamu mendapat jawabnya”. Dengan memaksimalkan kemampuan melantunkan bacaan Al-quran yang merdu yang pernah dipelajari saat masih di desa, akhirnya Satrio mendapat peluang untuk mengajar mengaji di beberapa keluarga Malaysia dan memperoleh rezeki yang cukup lumayan. Seiring waktu berjalan hubungannya dengan kalangan masyarakat Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam semakin erat dan membuka jalan rezeki lainnya. Bersama beberapa mahasiswa lainnya Satrio memproduksi tempe secara kecil-kecilan yang didistribusikan ke kalangan masyarakat Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam yang ada di New Delhi dan sekitarnya. Sehingga penghasilannya dapat digunakan untuk biaya sewa kos-kosan dan biaya kehidupan lainnya.
Bagi mahasiswa yang datang belajar ke India dengan kemampuan bahasa inggris minim, biasanya akan mengambil kegiatan kursus bahasa Inggris selama beberapa bulan, karena bahasa inggris merupakan medium pengajaran di perguruan tinggi di India. Ada beberapa institusi perguruan tinggi di India yang memberikan kursus secara gratis, salah satunya adalah Jawaharlal Nehru University (JNU) dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh para mahasiswa Indonesia untuk mempertajam kemampuan berbahasa inggris. Tak terkecuali Satrio yang sebelum berangkat ke India sama sekali tidak mampu berbahasa inggris. Setahun lamanya Satrio mendalami bahasa Inggris melalui kursus dan aktivitas akademisi lainnya, akhirnya Satrio telah siap untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi di India dengan uang yang berhasil dikumpulkan dari hasil jerih payah selama setahun penuh.
Tahun 2013 menjadi momentum penting dalam hidupnya, Satrio diterima di Dr. Ambedkhar University (sebelumnya Agra University) yang berlokasi di kota Agra, negara bagian Uttar Pradesh, tidak jauh dari lokasi berdirinya Taj Mahal, yang disebut sebagai symbol of love, salah satu keajaiban dunia yang merupakan peninggalan Mughal Empire yang menjadi saksi kekuasaan Islam di tanah Hindustan pada abad ke-16, yang akhirnya harus punah oleh kolonialisme Inggris. Kini Satrio sudah di tahun terakhir perkuliahannya, tahun 2016 mendatang InsyaAllah dia sudah akan terdaftar sebagai Mahasiswa S2 di perguruan tinggi di India.
Di Dr. Ambedkhar University, Satrio dan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya menempuh studi Strata Satu jurusan Ilmu Sosial. Satrio bukanlah satu-satunya mahasiswa Indonesia yang harus melewati perjuangan sulit untuk dapat belajar di luar negeri, masih ada yang lainnya yang juga harus bekerja keras untuk dapat mengenyam pendidikan di tanah Gandhi ini. Ada Nurjannah bersama suami dan seorang buah hatinya yang harus berjualan ketring makanan untuk bisa membiayai kuliah dan hidup sehari-hari, Dosman Fernando Manalu dan Suhendri yang bekerja sampingan di salah satu jasa call centre, ada Eko Prasetyo yang berjualan tempe untuk para masyarakat Indonesia dan ada Khairul Tachmar yang menjadi tour guide serta mengajar mengaji.
Mereka merupakan pejuang-pejuang tangguh yang menagguhkan rasa takut untuk sebuah tujuan yang lebih baik. Hebatnya, tak seorang pun yang menerima beasiswa dari Pemda atau institusi/organisasi di tanah air, tapi murni apa yang dicapai mereka adalah hasil dari keringat sendiri. Meski demikian, mereka tidak pernah merasa kecil hati, justru hasil yang diraih menjadi semakin manis dengan perjuangan sendiri. Ada rasa minder, ketika harus bersaing dengan mahasiswa lainnya untuk mendapat beasiswa, semata-mata karena mereka sadar bahwa apa yang diperoleh dari sistem pendidikan di desa sebelum mereka hijrah ke India, tidaklah sebanding dengan apa yang diperoleh oleh para mahasiswa Indonesia lainnya yang berasal dari sekolah-sekolah bonafit di kota-kota besar. Namun, kegigihan dan semangat yang besar membentuk karakter kuat sebagai “Pencari Ilmu” yang sebenarnya yang mampu menaklukkan Hindustan dengan tangan mereka sendiri.
Pengalaman mereka adalah bukti nyata relevansi pribahasa ‘Manjadda Wajadda’ dan ‘Man Yazro Yahsud’ bukan sekedar kisah film atau novel fiksi belaka. Perjalanan mereka menjadi hikmah dan pelajaran bagi mereka yang takut dan berputus asa akan taqdir Allah SWT, sementara setiap hamba memiliki kesempatan yang sama tergantung dari kadar ikhtiarnya masing-masing. Dengan demikian, beranilah mengambil keputusan untuk berhijrah ke tempat yang lebih baik sebagai bagian dari perjalanan hidup sesuai sunnatullah.
Tulisan ini merupakan kisah nyata pengalaman Sdr. Satrio, mahasiswa S1 tahun terakhir, jurusan Ilmu Sosial di Dr. Ambedkhar University, Negara Bagian Uttar Pradesh. (ikhsan)