Rumahhufazh – Suara barisan penonton yang duduk di depan panggung setinggi satu meter itu tampak riuh. Sesekali, dua bocah berkerudung berlarian di depan panggung. Saling mengejar. Suaranya menggema di dalam Gedung D3, Asrama Haji Jakarta, sore.

Volume suara dua bocah itu seketika mengecil ketika pembaca acara menyampaikan informasinya. “Peserta urutan ke-12 diharap maju,” ucap pembawa acara itu.

Seketika suara penonton yang hadir tenggelam tenang. Dua bocah berkerudung yang tadi berlarian sudah duduk kerana perintah orangtuanya.

Tak berselang lama, dari belakang si pembaca acara, seorang pria bertubuh gempal berjalan menuju panggung. Langkahnya perlahan. Beda dengan tahfidz yang lain, ia tidak sendiri. Seorang bertubuh kecil menuntun jalannya.

Berbaju hijau dan bersongkok hitam, Rahmat Iskandar duduk bersila di memunggungi gapura bertuliskan Seleksi Tilawatil Quran XXIII cabang hifzhil kategori 30 juz. Sorotan lampu tampak memerindah ornamen panggun kecil itu. Sayang, tata artistik panggung itu tak bisa ia saksikan.

Tet, tet. Bel tanda dimulainya ujian.

Salah seorang dari balik sekat berwarna putih yang duduk di samping-samping depan panggung mengucapkan basmallah. Tak berselang lama sebuah potongan ayat dari Surat At-Taubah terbaca mengalun.

Jantung Rahmat berdegub kencang. Tanda grogi. Tetapi, ia mencoba tetap tenang.

Rahmat kemudian melanjutkan potongan ayat yang dibacakan Dewan Hakim tadi. Suaranya mengalun indah. Tak tampak grogi. Hadirin menyimak.

Tiga kali suara bel berbunyi. Sebuah potongan ayat dibaca lagi. Rahmat masih sanggup melanjutkan, tak ada yang meleset.

Kali ini, lantunan ayat suci yang keluar dari mulutnya seolah menghipnotis penonton. Suasana jadi khusyuk. Hingga akhirnya, suara bel empat kali terdengar. Tanda ujian hafalan Alquran selesai. Doa penutup segera terucap dari mulutnya,

Sodaqollahul Adzim…,” tutupnya.

Sontak penonton yang hadir berpekik, “Subhanallah!”. Tampak pula ada yang berdiri dan bersiap menuju ke padanya.

Saat berjalan tak jauh dari panggung, beberapa orang berebut menyalami. Bahkan ada yang mencium tangannya. Sebagian lagi mengajaknya berfoto. Tapi, Rahmat masih tak dapat melihat wajah-wajah itu. Dia hanya mendengar sekelilingnya riuh.

Ucapan takjub masih terdengar. Kali ini ucapan itu terdengar lirih, “Subhanallah.”

Agak jauh dari kerumunan penonton, Rahmat diminta duduk. Dia meraba-raba. Ketemu. Kursi itu diletakkan di dekat salah satu pilar bangunan gedung.

Ya, itulah Rahmat Iskandar. Remaja tunanetra berusia 19 tahun asal Lampung. Meski tak dapat melihat, namun dia mampu menghafal 30 juz Alquran.

Kemahirannya menghafal Alquran itu didapatnya ketika menjadi santri di Pesantren Miftahul Jannah, Lampung Timur. Dia yang kala itu berusia delapan tahun mendapatkan bantuan menghafal Alquran dari sang pemilik pondok, KH Ainun Shiha.

“Pertama kali dibacakan oleh Pak Kyai. Saya mendengar lalu lafalkan. Hafalannya pada awal-awal tidak banyak,” katanya kepada Dream.

Di tahun 1999, saat ia berusia 12 tahun, 30 juz Alquran itu ia tamatkan. Meskipun sudah mencapai katam ia terus mengulang hafalannya.

“Sehari setidaknya satu juz,” katanya.

Pernyataan Rahmat itu diamini Noven, salah satu pendamping kontingen STQ asal Lampung. Noven, yang mengenal Rahmat sejak berusia 10 tahun, mengaku takjub dengan kemampuan Rahmat.

“Dari dulu bekal hafalannya sudah kuat. Sehingga dia tinggal mengulang,” ungkapnya.

Noven mengatakan, proses belajar Rahmat yang pesat terbantu teknologi. “Jika dahulu harus dibacakan kiai, kini pakai kaset,” tuturnya.

Kesabaran Rahmat menghafal menunjukkan hasilnya saat mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran tingkat nasional tahun 2014 yang diselenggarakan di Batam, Kepulauan Riau. Di pentas MTQ itu, ia mampu menyabet juara kedua cabang hafalan kategori 30 juz.

“Ya karena (prestasi) itu dia menjadi kebanggan Lampung,” kata Noven diikuti senyum.

Meskipun sudah berprestasi Rahmat rupanya sosok yang humoris. Kejadian itu terjadi saat Noven menanyakan cincin batu yang dipakainya.

“Eh, coba itu cincin batu apa itu?” pancing Noven.

Rahmat pun membalas. “Ini batu biasa Pak. Nggak ada apa-apanya. Beneran. Batunya jenis saibah,” katanya sambil menunjukkan batu cincin yang terpasang di jarinya.

Ke depan, cobaan yang selalu hadir bagi seorang penghafal Alquran adalah ingatan visual. Untuk menghindari itu, banyak dari penghafal Alquran menepi dari dunia modern untuk terus mengulangi hafalan dan bertawaduk. Tetapi, Noven menanggapi metode tersebut dengan berseloroh, “Ya, untungnya dia tidak bisa ‘melihat’ itu. Terutama wanita. Hehehe.” (Sumber: Dream)

Print Friendly, PDF & Email
rumahhufazh.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.