Tiba-tiba Desa Wisata Quran Hamasah menjadi tenar. Hanya dalam tempo 30 hari, para tamu desa ini mampu menghafal 30 juzz Alquran.
Rumahhufazh – Langit di Villa Kahyangan, Jatinangor itu masih temaram. Di tengah suara jangkrik dan katak yang bersahutan di pinggir kolam, sesosok pria paruh baya duduk bersila. Bibirnya bergerak tak henti. Lafalan ayat-ayat Alquran sayup-sayup terdengar dari mulutnya.
Malam itu, jarum pendek jam dinding baru menunjukan angka tiga. Kala sebagian orang berkalung selimut menghapus dingin, Haji Ali Husein, pria paruh baya itu sudah terbangun. Usianya sudah cukup uzur, 68 tahun. Namun pagi itu Ia seolah tak hirau dinginnya hawa pinggiran Kota Kembang Bandung.
Sebuah kitab Quran terapit diantara kedua tangannya. Matanya tajam menelusuri setiap barisnya. Terkadang terpejam mengulang kembali ayat-ayat yang dibaca.
Haji Ali tak sendiri. Ada puluhan pria dan wanita sudah terbangun pagi buta itu. Mereka melakukan aktivitas serupa. Masing-masing memegang sebuah Alquran dan melafalkannya ayat per ayat.
Sebagian lagi tengah duduk bersila di depan seorang pria bergamis hitam. Dipisahkan sebuah meja, satu per satu peserta menyetorkan hapalannya.
Itulah pemandangan keseharian di Desa Wisata Quran Hamasah. Puluhan orang bersama menghabiskan waktu 30 hari dalam karantina. Pembinanya adalah Ustad Djaelani.
****
Desa Wisata Quran Hamasah memang tengah jadi buah bibir. Dewa Wisata Quran ini bukanlah suatu tempat yang menetap di Bandung, Jawa Barat. Namun Ustad Jaelani membawa konsep pengajaran ini berkeliling Indonesia. Selama 30 hari, mereka akan menggunakan sebuah lokasi sebagai tempat pembinaan, dan mereka sebut sebagai Desa Wisata Quran ini.
Seperti juga yang pernah dilakukan di Belitung, program ini berhasil meluluskan seorang pemuda penghafal Alquran hanya dalam tempo 14 hari. Pemuda itu merupakan mahasiswa yang sedang menjalani studinya di Turki. Pemuda asal Aceh itu, Teuku Akbar Maulana menghapal 114 surat dan 6.666 ayat Quran hanya dalam 14 hari.
Di tengah dahaga rohani, kabar itu tentu sebuah oase bagi muslim pecinta Quran. Menghapal lebih dari 6.000 ayat Quran dalam 30 hari bukanlah perkara mudah. Apalagi Cuma 14 hari. Tak heran jika program Desa Wisata Quran Hamasah kebanjiran pendaftar.
Berdiri sejak 16 Juni 2014, sudah ratusan orang rela mendekam 30 hari dalam karantina. Mereka tertarik bergabung menjadi penghapal Alquran. Ada juga yang sekadar mengisi hari libur dengan kegiatan bermanfaat.
Ustadz Jelani dan beberapa sahabatnya memang tak begitu saja menemukan metode menghapal Quran kilat ini. Berulang kali dan beragam metode diujinya. Sampai muncul pada ide membuat program karantina itu.
Selama 30 hari, peserta akan digembleng menghapal Alquran. Tak ada alat komunikasi, tanpa hiburan, dan jauh keluarga membuat proses pembelajaran berjalan efektif.
Meski terasing, bukan berarti peserta hidup serba kekurangan. Suasana pemondokan dibuat lebih teratur dan tertib. Peserta hanya dipusatkan untuk kegiatan membaca, menghafal dan menyetor bacaan.
Selebihnya, urusan makan, kebersihan, kesehatan sudah ada yang siap melayani.
Tak semua berkesempatan mengikuti program karantina ini. Ada seleksi bisa menjadi warga Desa Wisata Quran Hasamah. Yang pasti, peserta harus punya niat kuat menyelesaikan program karantina.
Usia pun dibatasi mulai dari umur lima tahun hingga 60 tahun. Namun pembatasan ini tidaklah kaku. Seperti Haji Alie Husain, meski usianya telah melebihi syarat, namun semangatnya cukup besar. Sehingga dia masih diijinkan untuk ikut.
Bagi peserta luar daerah, mereka bisa lakukan seleksi melalui telepon. “Kami telepon ba’da subuh, dan (meminta pendaftar) membaca surat-surat yang jarang atau tidak pernah dibaca seperti Al-Jin atau Al-Mukminun,” kata Ustad Jaelani saat berbincang dengan reporter Dream.co.id, Ratih Wulan Pinandu.
Seorang peserta yang lulus seleksi juga harus menyediakan biaya pendaftaran yang besaran berkisar antara Rp 4,7 juta hingga 5,6 juta. Pihak yayasan juga mengenakan sumbangan yang besarannya disesuaikan kemampuan dari masing-masing peserta.
Disinilah perjalanan penggemblengan para calon penghapal Quran dimulai. Sebanyak 17 poin kesepakatan harus dipatuhi. Kesepakatan ini yang akan menentukan berhasil tidaknya proses karantina mereka.
Sebelum memulai proses belajar, para peserta diberikan kebebasan untuk menetapkan target hapalan. Strategi agar hafalan selesai sesuai target juga diberikan.
“Melihat realitanya jadi ada hitungan eksak setiap hari atau setiap menit mereka harus menyelesaikan sekian. Soalnya itu yang menjadi jaminan kelulusan hingga 100 persen,” jelas Ustad Jaelani.
Dalam proses pembelajaran, Hamasah membaginya menjadi metodenya dalam bentuk setoran dan metode menghafal. Saat metode setoran, peserta akan dibariskan dan menghadap Muhafidz yang mampu menyimak bacaan mereka secara tartil. Selama satu jam, mereka wajib menyetorkan bacaan setengah halaman lembar Alquran.
Para peserta akan setia ditunggu hingga mereka menyerahkan setoran hafalan hari itu. Meskipun malam telah larut, mereka tetap dilarang masuk kamar atau tidur jika belum menyelesaikan target.
Sedangkan dalam metode menghafal, Hamasah menggunakan teknik auditori. Di desa itu, peserta bebas membaca Alquran sekeras mungkin. Tak lupa terselip pesan untuk menghayati dan memahami ayat-ayat yang tengah dibacanya.
Ustadz Jaelani mengaku metode karantina didukung teknik belajar inilah yang membuatnya punya keunggulan dari metode lain. Selain lebih fleksibel bagi peserta yang kesulitan menghafal Alquran, mereka juga dibebaskan memilih metode yang sesuai dengan kemampuannya.
“Misalnya dengan memberi penomoran ayat atau pengulangan selama 20 kali. Nah, setelah itu mereka membuat komitmen atau semacam kesepakatan dalam sekali duduk harus mampu menghapal satu halaman,” imbuhnya.
Ustad Jaelani memang hanya memperkuat teknik menghapal Alquran yang selama ini sudah ada. Yang pasti, metode yang dipakainya bersandarkan pada kisah Nabi Muhammad yang menerima wahyu lewat perantara malaikat Jibril.
“Hal ini kami dapatkan sesuai dengan sejarah diturunkannya Alquran yang dibawa malaikat Jibril kepada rasulullah SAW dengan cara diperdengarkan dan diulang sebanyak tiga kali. Belum pernah kami temukan Alquran diturunkan dengan cara ditulis,” ungkapnya melanjutkan.
Berbekal pengalaman Rasul, Ustadz Jaelani yakin setiap muslim mampu menghafal ayat-ayat Alquran.
******
Dua tahun berselang, Hamasah boleh sedikit berbangga. Memulai karantina dari Bandung, berlanjut ke Bali, Belitung, dan terakhir di Jatinangor, Sumedang, sudah ratusan penghapal baru Quran terlahir.
Memang tak semua peserta pulang dengan 30 juzz hapalan melekat dalam ingatan. Namun lebih dari 50 persen dipastikan mampu menghapal seluruh ayat Quran. Dari empat gelaran yang sudah dijalani, tingkat kelulusan bervariasi antara 70-90 persen.
Mereka yang berhasil lulus dengan hapalan 30 juzz berhak menyandang selendang penghargaan dan sertifikat. Bagi yang gagal, dapat mengulang dan melanjutkan setoran pada rumah Quran atau rumah tahfidz yang bersedia menampung mereka.
“Sesuai dengan surat Al – qomar ayat 18, 22, 32, dan 40 yang menyebutkan kalau ada mudzakir yang tidak kuat maka Allah akan memberi kemudahan bagi orang-orang yang ingin menghafal Alquran,” jelas Ustad Jaelani.
Perjalanan Hamasah mencetak penghapal Quran bukannya tanpa sandungan. Di awal kebersamaannya, Ustad Jaelani harus berpisah dengan kedua sahabat karibnya. Perbedaan pendapat membuat mereka terpisah. Memilih jalan masing-masing dan mendirikan program serupa dengan konsepnya sendiri.
Hamasah sendiri tetap konsisten dengan konsep desa wisata dan karantina. Saban enam bulan sekali mereka menggelar karantina. Metode ini beda dengan lembaga lain yang menggelar pelatihan saban bulan.
“Kami tidak membangun seperti sebuah pesantren jadi kita tidak mendirikan bangunan atau mencari dana untuk membangun pesantren. Tapi kami lebih ke bagaimana setiap daerah yang kami singgahi merasakan dampak dari acara kami,” jelas Ustad Jaelani.
Haji Ali Husein mungkin harus menahan dinginnya hawa Bandung. Namun perjuangannya mempelajari dan menghapal Quran akan berbalas. Insyaallah.
(Rumahhufazh/Dream)