Oleh. Ilham Kadir, Peneliti MIUMI dan Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor
SALAH satu peristiwa penting yang terjadi pada bulan Ramadan adalah turunnya Alquran, karena itu Ramadan disebut juga sebagai bulan Alquran dan berbicara tentang Alquran pada bulan mulia ini adalah bagian yang tak terpisahkan. Penulis mencoba membahas terkait serangan golongan orientalis terhadap Alquran. Bagaimana kejadiannya? Kita lihat.
Jangan dikira bahwa Alquran yang diyakini oleh umat Islam sebagai kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw via Jibril as, tidak pernah mendapat serangan dari orang-orang tertentu dengan motif beragam. Serangan dari beragam penjuru baik itu dari kalangan umat Islam sendiri seperti penganut sekte liberalisme atau pun dari para orientalis.
Orientalis adalah kelompok terpelajar (cendekiawan) dari Barat yang memiliki kepakaran tentang hal-ihwal ketimuran (orient) mulai dari bahasa, sejarah, agama, peradaban timur, baik yang jauh (far eastern) seperti Jepang, Cina, India, dan Nusantara, maupun yang dekat (near eastern) seperti Semenanjung Arabia, Persia, dan Mesir. Tidak sedikit dari mereka yang terjun mengkaji agama-agama, dan menjadi pakar dibidangnya termasuk tentang keislaman. Di antara sub kajian keislaman yang mendapat porsi khusus adalah Alquran.
Para orientalis yang juga berprofesi ganda selaku misionaris, adalah hal biasa jika mereka melakukan serangan terhadap Alquran secara sistematis, tak ubahnya seperti ‘zombie’ yang patah tumbuh hilang berganti. Menarik untuk dikupas, apa dan bagaimana hasil kajian mereka.
Pada tahun 1927, Alphonso Migana, pendeta asal Irak dan Mantan Guru Besar di Universitas Bringmingham, Inggris mengumumkan bahwa sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Alquran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kor’an to same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of The Jewish Bible, and Greek of the Cristian scriptures).
Tentu saja Migana bukan yang pertama dan terakhir kalinya melontarkan seruan semacam di atas, dan tidak pula sendirian. Jauh sebelum dia ‘berkicau’ tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Flugel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namai ‘Corani Textus Arabicus’. Setelah itu muncul pula Theodor Noldeke yang berhasrat merekonstruksi sejarah Alquran dalam karyanya ‘Geschichte des Qoran (1860), upaya yang menjadi acuan bagi sekte pengusung liberalisme di Indonesia.
Pada tahun 1937 datanglah Arthur Jeffery yang berambisi membuat edisi kritis Alquran, mengubah Mushaf Utsmani yang kita baca saat ini lalu menggantikannya dengan muhaf baru. Orientalis asal Autria yang pernah mengajar di American University Cairo lalu menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merestorasi (mirip jorgan partai Nasdem) teks Alquran berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan (rival codies).
Jeffery berniat meneruskan usaha Gotthelf Berstrasser dan Otto Pretzl, dua orientalis Jerman yang pernah berjibaku mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) Alquran dengan tujuan membuat edisi kritis. Namun usaha dan proyek tersebut gagal total karena semua arsipnya yang berjumlah 40.000 lebih di Munich hancur musnah tertimpa bom saat Perang Dunia Kedua bekecamuk.
Dan yang teranyar adalah munculnya Christoph Luxenberg beberapa tahun yang lalu, orientalis berwarga negara Jerman namun asli Libanon ini mengklaim bahwa Alquran hanya dapat dimengerti apabila dibaca mengikut ‘konon’ bahasa aslinya, yaitu Syoro-Aramaik (bahasa Aramaik dalam dialek Syriak).’
Dalam bukunya yang berjudul ‘kira-kira’ “Cara Membaca Alquran dengan Bahasa Syro-Aramaik: Sebuah Upaya Pemecahan Kesukaran Memahami Bahasa Alquran”, dalam bukunya itu Luxenberg dengan lancang mengklaim bahwa: (a) bahasa Alquran sebenarnya bukan bahasa Arab, karena itu menurut dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sukar dipahami, (b) bukan hanya kosakatanya berasal dari Syro-Aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria, (c) kesimpulannya, Alquran yang ada saat ini tidak otentik, perlu ditinjau kembali, dan diedit ulang.
Namun hasilnya tidak sebanding dengan tenaga, umur, dan gelontoran dana yang mereka gunakan. Segala upayanya tak ubahnya laksana buih, timbul dan pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap kitab suci Alquran.
Menarik untuk dikaji sebab-sebab kegagalan orientalis dalam menyerang Alquran, selain kitab ini satu-satunya kitab yang memproklamerkan dirinya sebagai kitab yang bebas dari campur tangan manusia, menyatakan bahwa dirinya akan tetap dan terus terjaga, oleh itu Alquran menantan untuk membuat yang sama dengannya, atau hanya sepuluh ayat, kalau tak mampu cukup satu ayat saja. Faktanya tak seorang pun yang sanggup termasuk para orientalis.
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, dalam “Jurnal Al-Insan Edisi. II, 2006” setidaknya ada tiga faktor yang membikin para orientalis bertekuk lutut dan menjadikan usaha mereka sia-sia belaka. Pertama, Alquran pada dasarnya bukanlah tulisan rasm atau writing tetapi merupakan bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuan maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan.
Sejak zaman dahulu yang dimaksud dengan ‘membaca’ Alquran adalah ‘qara’a ‘an zahri qalbin’ yakni to recite from memory, membaca dari rekaman hati dan otak. Untuk itulah tulisan ‘saat itu’ yang ada di pelapah kurma, tulang, kulit dan semacamnya ditulis berdasarkan hafalan, atau apa yang diucapkan oleh para muqri. Proses transmisi semacam ini sangat jitu menjaga keotentikan Alquran dari satu generasi ke genarasi selanjutnya, dari zaman Jibril menurunkan ke Rasulullah lalu ke sahabat hingga era reformasi di Indonesia saat ini.
Sangat berbeda dengan Bible, dimana tulisan (manuscript evidence) dalam bentuk papirus, skrol, dan lain-lain, yang menjadi landasan utama dalam penulisan Gospel. Merupakan hal ‘konyol’ jika disamakan dengan Alquran sebagaimana keinginan Alphonso Migana dkk.
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Alquran juga tetap dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah, hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat Nabi, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain karena untuk keperluan masing-masing. Baru kemudian hari, ketika jumlah penghafal Alquran menyusut karena banyak gugur di medan perang, usaha kodifikasi mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakar, sehingga Alquran dukumpul menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first hand) dan mutawatir (tak diragukan) dari Nabi.
Setelah wafatnya Abu Bakar (634 M) mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar ra (644 M), lalu Hafsah selanjutnya diserahkan kepada Khalifah Utsman ra. Pada zaman beliaulah atas desakan dan permintaan sahabat, sebuah komisi ahli dibentuk kedua kalinya, dan bertugas mendata ulang seluruh bacaan ‘qiraat’ yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahihan periwayatan untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Kesalahan orientalis adalah, menafikan adanya sejarah kodifikasi di atas dan menganggapnya fiktif belaka sebagaimana sangkaan Arthur Jeffery.
Ketiga, tulisan Arab (khat) mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, Alquran ditulis ‘gundul’ tanpa tanda baca walau sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian tulisanyang dipatok pada masa Utsman bin Affan tidak menimbukan masalah, karena kaum muslimin saat itu belajar Alquran langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, bukan dari tulisan dan tidak bergantung sama sekali dari manuskrip. Di sinilah letak kekacauan Christoph Luxenberg yang menganggap bahwa teks gundul itulah menjadi penyebab macam-macam bentuk bacaan dalam Alquran sebagaimana dalam Bibel. Padahal jamak diketahu bahwa kendati tulisan Arab itu ‘gundul’ tetap memiliki bacaan yang baku, bagaimana pun bentuk dan di mana pun letak kalimatnya. Hingga kini, termasuk penulis dapat membaca tulisan Arab dalam bentuk apa pun. Wallahu A’lam!
(rumahhufazh/islampos)