Di antara nikmat terbesar yang Allah Ta’ala karuniakan kepada umat Islam adalah Kitab Suci al-Qur’an. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah Ta’ala menjadikannya sebagai pedoman dan lentera bagi kehidupan umat manusia.

Merupakan suatu kewajiban seorang muslim dalam mempelajari, memahami serta menafsirkan Al-Qur`an Al-Karim dengan memposisikan dirinya sebagai penyampai maksud Allah Ta’ala. Perasaan takut akan terjatuh kedalam kesalahan berupa mengatakan tentang Allah Ta’ala tanpa ilmu harus senantiasa hadir, ia harus berhati hati agar ia tak terjatuh kedalam perkara yang diharamkan oleh Allah Ta’ala.

Jangan sampai ia berbicara tentang sesuatu yang memang tidak diketahuinya lantas berdusta. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Isra: 36)

Ancaman Allah bagi orang orang yang bedusta atas nama agama Allah Ta’ala;

وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ وُجُوهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ ۚ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِينَ

“Dan pada hari Kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri” (QS. Az-Zumar: 60).

Juga sabda Nabi Shallalallaahu Alaihi Wa Sallam dari Ibnu Abbas Radhiyallaahu ‘Anhuma;

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi)

Mengkaji dan memahami al-Qur’an tak boleh asal-asalan. Kecerdasan atau kebersihan jiwa semata tak cukup untuk mengkaji dan memahaminya. Sebab, al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang datang dari Allah Rabb Semesta Alam. Kedudukannya pun sangat sakral dalam agama ini.

Berikut adalah metode tafsir Al Qu’an yang benar dalam mempelajari dan memahaminnya.

1.Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya. Contoh dari metode ini diantaranya;

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS.Yunus: 62)

makna wali Allah dalam firman Allah Ta’ala di atas, ditafsirkan dengan ayat yang selanjutnya:

الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (QS.Yunus: 63).

  1. Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah). Contoh dari metode ini diantaranya;

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS.Yunus : 26).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menafsirkan tambahannya dalam ayat yang mulia di atas dengan melihat wajah Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Syuhaib bin Sinan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إذا دخل أهل الجنة الجنة قال يقول الله تبارك وتعالى تريدون شيئا أزيدكم فيقولون ألم تبيض وجوهنا ألم تدخلنا الجنة وتنجنا من النار قال فيكشف الحجاب فما أعطوا شيئا أحب إليهم من النظر إلى ربهم عز وجل

“Apabila penduduk surga masuk kedalam surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu untuk Aku tambahkan kepada kalian.’ Maka mereka pun menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami?’ Bukankah Engkau telah memasukkan kami kedalam surga, dan Engkau telah menyelamatkan kami dari neraka?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lalu Allah menyingkap tabir, maka tidaklah mereka diberi suatu anugerah yang lebih mereka cintai daripada melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.’ Dalam jalur riwayat lain, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat yang agung ini,

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah)” ([QS.Yunus: 26] HR. Imam Muslim: 181).

  1. Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para sahabat terutama para ulama mereka yang mumpuni di bidang tafsir.

Sebab, al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka. Merekalah orang yang paling bersungguh-sungguh mencari kebenaran setelah para nabi, orang yang paling jauh dari kesesatan, dan paling bersih dari hal-hal yang menghalangi mereka dari kebenaran.

Sebab, mereka adalah orang terbaik umat ini setelah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih terselamatkan dari kesesatan daripada generasi sesudah mereka, dan bahasa Arab pun belum banyak berubah di masa mereka. Pemahaman mereka tentang al-Qur’an jauh lebih benar daripada generasi sesudah mereka.

Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan.” (an-Nisa’: 43)

Terdapat riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang menafsirkan makna menyentuh istri(mu) yang disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab Tafsirnya,

قال ابن أبي حاتم عن ابن عباس في قوله { أو لامستم النساء} قال: الجماع

“Berkata Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Abbas terkait dengan tafsir firman-Nya, atau kamu telah menyentuh istri(mu), beliau berkata, ‘(maksudnya adalah) berhubungan badan (jima’).”

  1. Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para Tabi’in yang mumpuni di bidang tafsir.

وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ ۖ وَمَكْرُ أُولَٰئِكَ هُوَ يَبُورُ

“Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur” (Faathir: 10).

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan tafsir Salafus Saleh dalam kitab Tafsirnya, hal. 276, dengan mengatakan,

وقوله : { والذين يمكرون السيئات} : قال مجاهد ، وسعيد بن جبير ، وشهر بن حوشب : هم المراءون بأعمالهم ، يعني : يمكرون بالناس ، يوهمون أنهم في طاعة الله ، وهم بغضاء إلى الله عز وجل

Dan firman-Nya “dan orang-orang yang merencanakan kejahatan” Mujahid, Sa’id bin Jubair dan Syahr bin Hausyab berkata (tentangnya), “Mereka adalah para pelaku riya`(memamerkan ibadah agar dipuji manusia) amal-amal mereka, yaitu mereka berbuat tipu daya kepada manusia, menampakkan seolah-olah mereka berada dalam keta’atan kepada Allah, padahal sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah.”

  1. Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pengertiannya secara istilah atau bahasa yang sesuai dengan redaksinya.

Makna Syar’i atau bahasa (Arab) yang terkandung dalam sebuah ayat merupakan salah satu rujukan dalam menafsirkan Al-Qur`an, karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS.An-Nisa’: 105).

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur`an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)” (QS.Az-Zukhruf: 3).

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS.Ibrahim: 4).

Apabila terjadi ketidaksesuaian antara makna syar’i dengan makna bahasa, maka dipilih makna syar’i, karena Al-Qur`an pada asalnya diturunkan bukanlah untuk menjelaskan bahasa, namun diturunkan untuk menjelaskan syari’at, kecuali apabila terdapat dalil yang menguatkan untuk dibawakan kepada makna bahasa, maka dibawakan kepada makna bahasa, atau disandingkan keduanya.

Demikianlah lima tahapan penting dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an. Barang siapa berpegang teguh dengannya niscaya akan terbimbing kepada kebenaran. Barang siapa tak mengindahkannya, niscaya akan terjauhkan dari kebenaran, wallaahu a’lam[]

 

rumahhufazh.or.id

______________________________________________________________

Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.

LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.

Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,

BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq

Konfirmasi ke 08961324556.

Print Friendly, PDF & Email
rumahhufazh.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.