Rumah yang ditinggali  masih berstatus sewa, ketika sang penghuninya, Haji Agus Salim wafat sepenggal November 1954. Salah satu dari 9 perumus Pancasila,  anggota dewan Volksraad, diplomat kesohor, Menteri Luar Negeri era revolusi itu wafat dengan – masih – bersatus sebagai ‘kontraktor’ alias pengontrak rumah.

Baru setelah itu, beberapa tahun kemudian, anak-anaknya patungan membeli rumah kontrakannya yang bertempat di Jalan Gereja Theresia (kini Jl. Agus Salim no 72) Jakarta.

Begitu kesederhanaan Haji Agus Salim dikisahkan sang cucu, Agustanzil Sjahroezah dalam Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik (2013: hal.114). Entah berapa kali, tokoh Partai Islam terbesar saat itu hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu gang ke gang lainnya di berbagai kota.

Sangat jarang kita dengar, petinggi partai di negeri ini masih mengontrak rumah, pinda-pindah bahkan hampir tiap bulan. Padahal, mungkin di luar sana, seorang ayah tidur dengan anaknya di atas gerobak beratap langit.

Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang pada perkampungan di sudut kota, di tempat becek, di kawasan kumuh, di sanalah Agus Salim dan istrinya, Zainatun Nahar mengisi hari-hari mereka.

Di Jakarta, sejoli ini pernah menikmati masa-masa indah di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, gang Listrik dan masih banyak lagi.

Khusus gang listrik, menjadi kenangan tersendiri bagi sejoli ini. Di gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik. Anak keempat Salim, Adek, mengingatnya dulu ia harus membersihkan bola lampu setiap sore. (Kustiniyati Mochtar: 1984).

“Rumah kampung dengan meja kursi sangat sederhana,” tambah muridnya yang juga diplomat, Mohammad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah, mengenang. Pernah pula, kasur gulung, ruang makan, dapur, dan ruang tamu kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar.

Jangan tanya ada atau tidak uang belanja, atau sembako di dalam lemari. Nasi goreng kecap mentega menjadi favorit ketika keluarga ini sedang tak ada makanan.

Tak heran, dalam Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik, ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn bilang,” Ia hanya mempunyai satu kelemahan : selama hidupnya melarat!”

Frasa selama hidupnya melarat ini artinya sangat jelas. Sebelum, saat, hingga pasca menjabat sebagai Menteri, atau jabatan lainnya, ia tetap melarat, dan tetap mengontrak rumah hingga akhir hayatnya.

sumber : Hidayatulloh

______________________________________________________

Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.

LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.

Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,

BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq

Konfirmasi ke 08961324556.

Print Friendly, PDF & Email
rumahhufazh.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.