rumahhufazh.or.id (Jakarta) – “Begitu kami tiba di Turki, kami akan berlayar ke Eropa dan meninggalkan negara ini,” kata seorang pengungsi Palestina kepada istrinya. Dengan kalimat ini seorang wanita Palestina yang menjadi pengungsi di Suriah, Ummu Walid, menuturkan kisah pengusiran para pengungsi Palestina. Kini dia mengungsi di Idlib. Dia berharap prahara ini segera berakhir.

Ummu Walid bertanya-tanya berapa banyak yang bisa dicapai seseorang untuk mengatasi semua penindasan dan rasa sakit ini, sejauh kesiapannya, tidak hanya untuk menghapus ingatan biadab yang dialaminya, tetapi untuk membakar semua berkas yang berisi semua kenangan itu dan menulis lembaran-lembara baru.

Kafilah pengusiran

“Kami tiba di perlintasan Abu Zindeen, titik terakhir rezim (di pedesaan utara Aleppo), datang dari selatan ibukota dalam konvoi pengusiran, dalam perjalanan bus selama dua puluh tujuh jam terus menerus,” kata Ummu Walid menceritakan kisah pengusiran yang dialaminya kepada kantor berita Arab Quds Press.

Dia melanjutkan kisahnya, “Suami saya tidak menunggu terlalu lama. Saya tidak ingat berapa kali kami mencoba melintasi perbatasan. Yang terakhir dari perlintasan Khirbet Jawz di pedesaan Idlib, semuanya gagal. Apakah karena pasukan bersenjata (gendarmerie), kami mendengar kisah-kisah kematian dari para penembak jitu. Atau karena penipuan geng-geng penyelundup, yang memenuhi kantong-kantong mereka dari impian kami dan dari aksi penipuan yang mereka lakukan!”

Pena telah mengering, akan tetapi suaminya belum bisa membakar lembaran-lembaran lama dan menulis yang baru. Dia mengalami penindasan dan meninggalkan istrinya sendirian dengan menanggung tiga anak. Sementara dia harus terus menulis lembaran-lembaran penindasan yang harus dia selesaikan.

Ketika ditanya bangaimana dia mengatur urusannya, Ummu Walid menjawab, “Bantuan sudah mulai datang kepada saya. Terlepas dari perasaan terima kasih saya kepada mereka yang telah mendukung saya dalam menghadapi ujian ini, tetapi ada kesedihan dalam diri saya, ketidakhadiran suami tidak bisa digantikan oleh orang-orang yang mendukung, seberapa pun besarnya simpati mereka.”

Dia melanjutkan, “Apa yang harus saya jawab ketika anak saya betanya kepada saya di hari wisuda sekolah: semua anak datang dengan bapak dan ibunya, kenapa saya tidak? Jawabannya hanya dengan air mata dan kesedihan!”

Setelah beberapa waktu, Ummu Walid memutuskan untuk mengatasi penderitaannya dan berhasil mendapatkan pekerjaan di taman kanak-kanak. Dia bergabung dengan sebuah lembaga hukum. “Ini adalah kesempatan untuk mendapatkan kembali sesuatu dalam hidup saya. Saya telah berteman dengan teman-teman perempuan yang baik di taman kanak-kanak, lembaga dan desa, mayoritas mereka adalah para janda,” ungkap Ummu Walid

Ummu Walid sudah tidak berfikir lagi untuk kembali ke kamp pengungsi. Semua yang ada di kamp sudah hancur. “Saya telah beradaptasi dengan kehidupan di sini (Idlib), terlepas dari semua tantangan untuk membesarkan anak-anak dan studi mereka, yang terus berpacu dengan usia mereka, dan meski harus menghadapi tanangan jaminan biaya hidup,” imbuhnya.

Dengan perubahan positif dalam kehidupan Umm Walid ini, dia masih bertanya-tanya berapa lama situasi ini akan berlangsung. Bagaimana dia bisa bertahan menghadapi kenyataan ini, sementara dia melihat anak-anaknya tumbuh besar, bergumul, dan kadang-kadang memberontak?

Mengakhiri perbincangan, Ummu Walid memberikan nasihat kepada setiap wanita yang telah kehilangan suaminya. “Nasihat saya, jangan jadikan itu sebagai akhir kesudahan. Akan tetapi bangkitlah. Berdiri sebagai seorang ayah dan sekaligus seorang ibu. Meskipun harus menghadapi kesulitan yang ekstrim. Ketahilah bahwa wanita, terutama wanita Palestina, mampu melakukannya. Dan ingatlah setiap kali lelah, akan pahala besar dari Allah atas kesabaranmu mendidik anak-anak yatimmu.”

Kesulitan dan tantangan

Ahmed Hussein, seorang pejabat amal di Badan Bantuan dan Pembangunan Palestina Suriah, menjelaskan bahwa kesulitan dan kebutuhan utama yang dialami keluarga-keluarga Palestina, terutama para janda, di daerah-daerah yang berada di bawah kendali oposisi adalah masalah sewa rumah yang harganya berkisar antara 100-150 dolar per bulan. Di tengah-tengah meningkatnya permintaan sewa yang terus meningkat karena serangan berkelanjutan yang dilakukan pasukan rezim dan sekutunya di berbagai wilayah pedesaan Idlib selatan.

Ahmed Hussein melanjutnya penuturannya, “Orang-orang bingung, terutama para janda, antara mengamankan sewa rumah atau kebutuhan makan sehari-hari di di tengah-tengah kondisi ekonomi yang rapuh.”

Dia menambahkan, “Kami memiliki 36.000 janda dan kehilangan penopang. Sebanyak 175 di antaranya adalah wanita Palestina yang merawat 343 anak yatim, di tengah-tengah kondisi kehidupan yang sulit. Meskipun ada bantuan dari organisasi kemanusiaan, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.”

Dilema para janda adalah salah satu konsekuensi dari perang, yang belum pernah mereda selama delapan tahun. Hak ini menempatkan masyarakat menghadapi sebuah tantangan besar.

sumber: infopalestina

Oct/rumahhufazh.or.id

______________________________________________________________

Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.

LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.

Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,

BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq

Konfirmasi ke 08961324556.

Print Friendly, PDF & Email
rumahhufazh.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.