Dalam ash-Shahihain, dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam terbangun di atas lima tonggak, yaitu: syahadat laa ilaaha illa Allah dan syahadat Muhammad Rasulullah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berhaji; dan berpuasa Ramadhan.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Nilai-nilai akidah yang terkandung dalam hadits di atas:
1. Pada hadits di atas terdapat indikasi bahwa puasa adalah pokok dan pondasi agama Islam yang agung, karena puasa adalah rukun keempat dari Rukun Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa perkara-perkara agama tidak berada dalam tingkatan yang sama, namun dapat dikategorikan menjadi perkara ushul (perkara pokok) dan perkara furu’ (perkara cabang). Sebagian perkara agama lebih tinggi kedudukannya daripada perkara agama yang lain, sebagaimana yang ditunjukkan dalam lima rukun Islam ini. Dan dalam hadits juga dinyatakan,
لإيمان بضع وسبعون شعبة ، فأفضلها قول لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق ، والحياء شعبة من الإيمان
“Iman memiliki lebih dari 70 cabang, yang paling tinggi adalah syahadat “laa ilaaha illallah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” [HR. Muslim]
2. Pada hadits di atas terdapat bantahan bagi ahli kalam yang mengkhususkan perkara ushul dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan i’tiqad dan perkara furu’ dengan perkara-perkara yang berkaitan dengan ahkam (hukum-hukum amaliyah).
Mengapa demikian?
Karena puasa yang merupakan perkara ahkam termasuk dalam perkara ushul, bahkan menjadi rukun Islam. Oleh karena itu, kritikan pada ahli kalam ditujukan pada pijakan dan batasan mereka dalam melakukan pembagian di atas, bukan karena semata-mata pembagian perkara agama menjadi ushul dan furu’.
Bantahan dan kritikan ditujukan pada pembagian yang dilakukan ahli kalam ditinjau dari segi batasan dan konsekuensi pembagian tersebut.
Dalam hal batasan, pengkhususan perkara ushul untuk perkara-perkara i’tiqad (akidah) dan perkara furu’ untuk perkara-perkara ahkam adalah pembagian yang tidak tepat, karena terdapat sejumlah perkara akidah yang bukan merupakan perkara ushul seperti perbedaan dalam menilai keutamaan antara sahabat Ali dan Utsman radhiallahu ‘anhuma atau permasalahan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ta’ala dalam peristiwa Mi’raj. Sama halnya, di sana terdapat perkara-perkara ahkam yang justru tercakup dalam perkara ushul seperti puasa.
Dalam hal konsekuensi yang timbul dari pembagian tersebut, yaitu ahli kalam akhirnya tidak menggunakan khabar ahad sebagai hujjah dalam perkara akidah, padahal sebagaimana dimaklumi khabar ahad selama shahih sanadnya, maka wajib diterima kandungannya tanpa membeda-bedakan karena ia adalah wahyu Allah ta’ala melalui lisan Nabi seperti yang difirmankan,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
Wallaahu A’lam[]
Oct/rumahhufazh.or.id
______________________________________________________________
Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.
LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.
Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,
BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq
Konfirmasi ke 08961324556.