Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [al-Baqarah: 183]

Nilai-nilai akidah yang terkandung dalam ayat:

1. Seruan dengan sifat keimanan pada ayat di atas menunjukkan bahwa istilah iman mencakup istilah islam, karena setiap muslim diseru untuk melaksanakan ketentuan dan kewajiban dalam ayat ini, sehingga bukan sekadar mencakup setiap orang yang mewujudkan keimanan berdasarkan pengertian iman secara khusus

2. Berdasarkan poin 1 di atas, seruan dengan sifat keimanan juga mencakup setiap muslim pelaku dosa besar, karena ia turut diseru menjalankan syari’at berpuasa. Oleh karena itu, tidaklah tepat jika menghilangkan pokok keimanan (muthlaq al-iman) pada diri pelaku dosa besar, sebagaimana tidaklah tepat menyatakan dirinya memiliki iman yang sempurna (al-iman al-muthlaq).

Namun, lebih tepat jika pelaku dosa besar disifati sebagaimana yang dinyatakan oleh ahli sunnah bahwa dia adalah “orang beriman yang kurang keimanannya” atau “orang yang beriman karena iman yang dimilikinya sekaligus orang yang fasik karena dosa besar yang dilakukannya”.

Demikian pula dengan aturan-aturan agama yang berlaku di dunia, pelaku dosa besar tercakup dalam sifat iman, sehingga ketentuan dalam firman Allah ta’ala,

فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ

“…serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman” [An-Nisa: 92]

juga mencakup muslim pelaku dosa besar apabila melakukan pelanggaran yang terkait dengan sanksi di atas.

Hal di atas tentu tidak berlaku pada dalil-dalil agama yang topik utama pembicaraannya adalah keimanan yang sempurna (al-iman al-muthlaq). Artinya, muslim pelaku dosa besar tidak tercakup dalam dalil-dalil yang demikian itu, seperti pada firman Allah ta’ala,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…” [Al-Anfal: 2]

3. Sekte Murjiah berdalil dengan ayat-ayat al-Quran semisal ayat di atas untuk menyatakan bahwa amal tidak tercakup dalam penamaan iman. Mereka beralasan karena Allah ta’ala tetap menyeru dengan panggilan iman padahal mereka belum mengamalkan kandungan dalam ayat tersebut!

Alasan tersebut dapat dibantah bahwa orang yang diseru dalam ayat itu pada hakikatnya telah beriman atas dasar ketundukan mereka terhadap kewajiban yang telah diperintahkan kepada mereka sebelumnya. Adapun amal yang dibebankan kepada mereka dalam ayat di atas, sesungguhnya belum diperintahkan sebelumnya. Akan tetapi, jika terdapat beban agama yang lain setelahnya, maka amal ini dipertimbangkan sebagai sifat keimanan dan setiap orang yang tidak melakukannya, sungguh keimannya telah berkurang. Silakan diperhatikan lagi poin 2.

4. Pada ayat ini terdapat dalil penetapan takdir yang sifatnya terdahulu (al-qadr as-saabiq), karena kata kerja tercantum dalam bentuk lampau, yaitu “كتب” (dituliskan) yang berarti “فرض” (diwajibkan). Sedangkan tempat tertuliskan takdir adalah al-Lauh al-Mahfuzh.

5. Pada ayat ini terdapat dalil adanya keseragaman pokok syari’at dalam sebagian hukum karena Allah berfirman dalam ayat ini,

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“…(diwajibkan atas kamu berpuasa) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”

Perbedaan ditemui pada tata cara, bentuk, waktu, periode pelaksanaan, dan hal semisal seperti yang difirmankan Allah ta’ala,

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” [Al-Maidah: 48]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

”Para Nabi adalah bersaudara dari satu ayah, agama mereka satu sedangkan ibu (syari’at) mereka berbeda-beda.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

maksud hadits di atas, syari’at mereka berbeda-beda dalam perinciannya.

6. Pada ayat di atas terdapat penetapan adanya hikmah dalam setiap perbuatan Allah ta’ala dan pensyari’atan-Nya, karena Allah menyampaikan alasan mengapa berpuasa itu diwajibkan dalam firman-Nya,

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“…(yaitu) agar kamu bertakwa.”

Tentunya hal ini berbeda dengan pendapat ahli kalam yang menolak hal tersebut.

Wallahu ta’ala a’lam.[]

Oct/rumahhufazh.or.id

______________________________________________________________

Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.

LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.

Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,

BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq

Konfirmasi ke 08961324556.

Print Friendly, PDF & Email
rumahhufazh.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.