Dalam beberapa kesempatan, banyak sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada beliau untuk meminta nasihat. Beliau menjawab permintaan-permintaan nasihat tersebut dengan nasihat yang beragam. Terkadang, jawaban tersebut dilatar-belakangi oleh kondisi orang tersebut. Terkadang, beliau ingin menunjukkan suatu perkara penting yang disepelekan banyak orang.

Di antara nasihat tersebut adalah nasihat untuk menguasai diri agar tidak mudah marah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari).

Nasihat ini juga sangat tepat untuk kondisi kita saat ini. Terkadang kita begitu mudah marah di jalan. Begitu mudah marah pada anggota keluarga, tetangga, dll. Hanya karena permasalahan yang sepele.

Menahan amarah adalah akhlak mulia. Ketika seseorang menahan amarahnya, maka Allah akan membalasnya dengan menahan murka kepada hamba tersebut atas dosa yang ia lakukan.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَاذَا يُبَاعِدُنِى مِنْ غَضَبِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ؟ قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

“Apa yang bisa menjauhkanku dari murka Allah?” Beliau bersabda, “Jangan marah.” (HR. Ahmad).

Kita sering berbicara tentang akhlak yang mulia. Tapi, terkadang kita tidak tahu apa bentuk akhlak mulia itu. Sebagian orang mengartikan akhlak mulia dan amalan yang paling utama hanya dalam tataran suka menolong, meringankan beban orang lain, atau hal semisal itu. Kalau hanya demikian, sempit sekali cakupan akhlak mulia itu.

Seorang tabi’ tabi’in yang mulia, Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah pernah ditanya, “Jelaskan kepada kami tentang akhlak mulia dalam satu kalimat.” Beliau menjawab, “Tidak marah.”

Tidak marah atau tidak mudah marah merupakan amalan yang di dalamnya terkandung banyak akhlak mulia. Seperti: Memiliki pribadi yang mulia. Tenang. Memiliki rasa malu. Rendah hati. Tidak menyakiti orang. Pemaaf. Pribadi yang hangat. Dan lain-lain.

Sedangkan mudah marah mengumpulkan banyak kejelekan. Bahkan marah bisa menimbulkan dosa lain yang lebih besar. Seperti perkelahian sampai akhirnya terjadi pembunuhan, wal’iyadzubillah.

Karena itu, agama kita menuntunkan agar seseorang mampu menahan amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ، وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ، مَلأَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَلْبَهُ أَمْنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ

“Barangsiapa yang meninggalkan amarahnya, niscaya Allah akan tutup aurat (kesalahan)-nya. Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal ia mampu melakukannya, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memenuhi hatinya dengan rasa aman pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Asakir).

Agama kita juga memuji orang-orang yang mampu menahan amarah dan mencela orang yang mudah marah. Rasulullah menyebut orang yang kuat adalah mereka yang mampu menahan amarah. Orang yang kuat, bukanlah orang yang melampiaskan marahnya. Berkelahi dengan seseorang kemudian dianggap menang. Beliau bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Bukhari dan Muslim).

Melampiaskan amarah di tempat-tempat umum. Meluapkan emosi di jalan karena terjadi sedikit senggolan. Di perkantoran karena menganggap orang melecehkan dirinya. Dan lain-lain. Adalah membuat harga diri kita turun. Tidak ada orang yang memuji. Dan mengganggu ketertiban. Sama sekali tidak ada kebaikannya.

Dalam sabdanya yang lain, marah adalah dari setan.

إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudh.” (HR. Ahmad dan selainnya).

Setelah mengetahui yang demikian, tentu kita tidak akan membiarkan setan senang dan bahagia karena kita begitu mudah marah. Selayaknya bagi kita menjauhi hal-hal yang buruk ini dan mudah memaafkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا زَادَ اَللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا

“Tidaklah Allah menambahkan kepada orang yang mau memaafkan melainkan kemuliaan.” (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diperlakukan kasar oleh seseorang. Kain di leher beliau ditarik hingga leher beliau memerah. Ternyata orang tersebut meminta jatah zakat untuknya. Beliau tidak membentak orang tersebut. Dan memberi apa yang dia minta. Beliau tidak marah kalau pribadi beliau disakiti.

Tapi kalau agama ini yang dihinakan barulah beliau marah. Beliau pernah mengutuk orang-orang musyrikin. Saat itu orang-orang musyrik memerangi Rasulullah. Beliau menghadapi mereka sehingga menunda shalat ashar hingga menjelang maghrib. Beliau kutuk orang-orang tersebut dengan mengatakan,

مَلَأَ اللَّهُ قُبُورَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا، كَمَا شَغَلُونَا عَنْ صَلاَةِ الوُسْطَى حَتَّى غَابَتِ الشَّمْسُ

“Semoga Allah mengisi kuburan mereka dan rumah mereka dengan api neraka. Sebagaimana mereka telah menyibukkan kami dari shalat wushta hingga matahari terbenam” (HR. Bukhari).

Artinya, marah itu boleh dalam syariat Islam. Hanya saja marah pada tempat yang tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah terkait masalah agama dan memaafkan dalam masalah pribadi. Berbeda dengan kita, kita cepat sekali marah kalau itu berkaitan dengan pribadi kita. Tapi kalau dengan masalah agama kita tidak peduli.[]

Wallaahu Ta’ala A’lam.

.

Oct/rumahhufazh.or.id

______________________________________________________________

Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.

LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.

Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.

Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,

BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq

Konfirmasi ke 08961324556.

Print Friendly, PDF & Email
rumahhufazh.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.