Ibnu al-Qayyim rahimahullah pernah mendengar Syaikh al-Islam mengatakan,
العارف لا يرى له على أحد حقا، ولا يشهد له على غيره فضلا، فلذلك لا يعاتب، ولا يطالب، ولا يضارب
“Orang yang arif takkan memandang bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain dan mempersaksikan bahwa dirinya lebih utama dari orang lain. Oleh karena itulah dia tidak perlu menegur, menuntut, atau memperjuangkan agar hal itu ditunaikan” [Madaarij as-Saalikiin 2/1328]
Perincian terhadap ucapan Ibnu Taimiyah ini mungkin sebagaimana apa yang diucapkan oleh Ibnu al-Qayyim sendiri dalam kitabnya yang lain. Beliau mengatakan,
شهود العبد ذنوبه وخطاياه= موجب له ألا يرى لنفسه على أحد فضلًا، ولا له على أحد حقًا؛ فإنه يشهد عيوب نفسه وذنوبه= فلا يظن أنه خير من مسلم يؤمن بالله ورسوله ويحرم ما حرم الله ورسوله.
وإذا شهد ذلك من نفسه= لم ير لها على الناس حقوقًا من الإكرام يتقاضاهم إياها، ويذمهم على ترك القيام بها؛ فإنها عنده أخس قدرًا وأقل قيمة من أن يكون لها على عباد الله حقوق يجب عليهم مراعاتها، أو له عليهم فضل يستحق أن يكرم ويعظم ويقدم لأجله.
فيرى أن من سلم عليه أو لقيه بوجه منبسط= فقد أحسن إليه، وبذل له ما لا يستحقه= فاستراح هذا في نفسه، وأراح الناس من شكايته وغضبه على الوجود وأهله، فما أطيب عيشه! وما أنعم باله! وما أقرعينه! وأين هذا ممن لا يزال عاتبًا على الخلق شاكيًا ترك قيامهم بحقه، ساخطًا عليهم وهم عليه أسخط؟!
“Kesadaran hamba terhadap dosa dan kekeliruan pribadi menjadikannya memandang bahwa ia tidak memiliki keutamaan apa pun atas diri orang lain, tidak pula memiliki hak yang harus ditunaikan oleh mereka.
Dia menyadari bahwa ia penuh kekurangan dan dosa, sehingga tak meyakini dirinya lebih baik dari seorang muslim pun yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya; serta meyakini keharaman sesuatu yang diharamkan oleh keduanya.
Apabila kesadaran semacam itu tumbuh di dalam jiwa, niscaya ia tak akan memandang bahwa jiwanya memiliki hak kehormatan atas orang lain, sehingga menuntut mereka menunaikannya dan mencela mereka apabila hal itu tidak dilakukan.
Semua itu dikarenakan dalam pandangan pribadi, jiwanya tidaklah pantas memiliki hak-hak yang harus diperhatikan oleh orang lain apatah lagi memiliki keutamaan sehingga berhak untuk dihormati, diagungkan, dan diprioritaskan.
Dia memandang bahwa setiap orang yang mengucapkan salam kepadanya dan bertemu dengan wajah yang ceria, sungguh telah berbuat baik kepadanya dan memberikan sesuatu yang tak pantas diterimanya. Sikap ini bersemayam dalam jiwanya dan orang lain pun beristirahat dari keluh-kesah dan amarahnya.
Betapa indah kehidupannya! Betapa nikmat kondisinya! Dan betapa sejuk pandangannya!
Adakah manfaat yang sama diperoleh oleh mereka yang senantiasa menuntut dan mengeluhkan makhluk karena mereka tidak menunaikan haknya; serta murka pada manusia padahal boleh jadi mereka lebih murka terhadap dirinya?!” [Miftah Daar as-Sa’adah 2/843]
*dikutip dari buletin Belajar Tauhid
.
Oct/rumahhufazh.or.id
______________________________________________________________
Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.
LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.
Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,
BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq
Konfirmasi ke 08961324556.