Seorang mahasiswa jenjang master pada jurusan Dakwah & Tsaqafah Islam Universitas Islam Madinah, yang berasal dari Nigeria berkisah:
“Aku bukan tokoh dalam kisah ini, namun aku hadir saat itu dan menyaksikannya. Kisah ini masih melekat dalam ingatanku meskipun telah berlalu cukup lama. Mungkin hal ini kembali pada pelajaran dan ibrah serta adab yang tinggi yang terkandung dalam kisah ini.
Pada suatu hari di bulan Ramadhan yang penuh berkah tahun 1427 H, di ruangan 103 fakultas Hadits dan studi Islam, Uiversitas Islam Madinah, pada waktu itu kami masih duduk di semester satu jenjang S1.
Saat itu kami sedang belajar mata kuliah Tauhid dan pengajarnya adalah yang mulia Prof. Dr. Syaikh Abdurrazzâq bin Abdulmuhsin Al-‘Abbâd Al-Badr hafizhahullah (Guru besar Universitas Islam Madinah).
Tak perlu diperkenalkan lagi siapa beliau. Tatkala Syaikh hafizhahullah memanggil nama-nama mahasiswa untuk absensi, sampailah pada seorang teman kami berkebangsaan Srilangka yang bernama Muhammad Shiyâm yang tidak hadir pada hari itu.
Disinilah segera keluar kata-kata dari Syaikh yang mana beliau berkata: ‘Muhammad Shiyâm Shâma Fanâma’ (artinya: Muhammad Shiyâm, dia puasa lalu tidur). Kata-kata itu lewat di pendengaran kami tanpa kami pedulikan, namun sangat besar dalam diri Syaikh.
Tak berselang lama, beliaupun beristighfar kepada Allah atas uacapannya tadi. Di sinilah kami baru sadar dengan kata-kata beliau, apa yang bisa mewakilinya dan apa hukumnya dalam syariat.
Syaikh hafizhahullâh tidak cukup hanya beristighfar, beliau mengikutinya dengan meminta kehalalan kepada teman kami yang kebetulan hadir di hari berikutnya.
Ketika syaikh sampai pada nama mahasiswa tadi dan beliau dapati ia tengah hadir, syaikh pun berhenti dan memberitahunya tentang apa yang terjadi, bahwa kemarin beliau memanggil namanya dan ia tidak hadir lalu keluarlah ucapan di atas, beliau pun berkata kepadanya: “saya harap kamu dapat memaafkan saya.”
Syaikh berulang kali menyampaikan permintaan maafnya, sementara
mahasiswa tersebut meyakinkan syaikh bahwa ia benar-benar telah
memaafkan gurunya. Ketika Syaikh yakin bahwa mahasiswa ini telah
memaafkannya atas ucapannya kemarin, beliau pun melanjutkan
pelajarannya.
Di pekan berikutnya, kami dikagetkan oleh syaikh.
Beliau membawa setumpuk buku yang berharga. Setelah pelajaran usai,
Syaikh memanggil mahasiswa itu dan beliau berikan kitab-kitab ini
kepadanya sambil berkata: “ini disebabkan kata-kata kemarin yang saya
ucapkan kepadamu dan saya harap kamu dapat memaafkan saya”.
Aku tak mungkin menggambarkan perasaan mahasiswa tersebut pada waktu
itu, kecuali wajahnya yang menampakkan sebagian perasaan bahagia
bercampur kagum dalam dadanya dengan adab dan ketawadhu’an syaikh.
Sebagaimana
kisah ini pun memberikan pengaruh besar pada diri kami semua dan
memberikan pengaruh bahkan pada cara interaksi kami dengan syaikh.
Semoga Allah menjaga beliau dan memberikan balasan kebaikan kepadanya.
Diterjemahkan oleh:
Lanlan Tuhfatul Lanfas, B.A dari buku:
Juhûd Al Jâmi’âh Al Islâmiyah fî I’dâd Al Kafâât Ad Da’wiyyah Wa Ri’âyatihim, karya: Dr. Sulthan bin Umar Al Hushayyin, hal. 80-82
.
Oct/rumahhufazh.or.id
______________________________________________________________
Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.
LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.
Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.[]
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,
BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq
Konfirmasi ke 08961324556