Dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan (sia-sia).” Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa sadar.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh al-Albani)
Mereka yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang meremehkan dan tidak mengacuhkan Allah, sehingga ada perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan. Ada perbedaan antara orang yang bermaksiat ketika sendiri dengan orang yang meremehkan Allah, sehingga kebaikan yang dilakukannya di hadapan manusia layaknya tindakan penuh riya’ yang tak diberi pahala meski bentuknya sebesar gunung.
Apabila berada di tengah-tengah orang shalih, ia menampakkan amalan yang baik karena berharap sesuatu kepada manusia, bukan berharap pahala kepada Allah. Orang ini mengerjakan amal shalih yang besarnya seperti gunung, secara lahiriah amal itu baik, tetapi tatkala bersendirian dia menerjang larangan Allah. Tatkala tersembunyi dari pandangan manusia, dia tidak mengagungkan Allah dan tidak pula takut kepada-Nya.
Kondisi di atas berbeda dengan orang yang bermaksiat ketika bersendirian, namun di dalam hatinya terdapat penyesalan, dia tidak suka perbuatan itu dan membencinya, serta Allah memberikan karunia penyesalan atas kemaksiatan yang telah dilakukan. Orang yang bermaksiat dalam kondisi bersendirian namun merasa menyesal dan merasa terluka atas kemaksiatan yang dilakukan, bukanlah dikatakan sebagai orang yang menerjang larangan Allah karena pada asalnya orang tersebut mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, namun syahwat telah menguasainya sehingga dia pun menyesali kemaksiatan tersebut.
Adapun orang yang disebutkan sebelumnya adalah pribadi yang berkarakter lancang dan berani menentang Allah. Inilah makna dari hadits Tsauban mengingat hadits tersebut tidaklah menerangkan perihal satu orang, dua orang atau berbicara tentang kriteria tertentu, namun hadits tersebut menerangkan sifat-sifat secara sempurna.
Sebagian manusia ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dan hatinya memang menentang Allah. Sedangkan yang lain bermaksiat tatkala bersendiri karena takluk akan syahwat, namun jika ditelisik lebih jauh, terkadang keimanan yang dimilikinya mampu mengalahkan syahwat tersebut dan mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. Akan tetapi dalam beberapa kondisi, syahwat membutakannya karena memang syahwat mampu membutakan dan membuat jadi tuli sehingga orang tidak mampu menerima nasehat. Akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kemaksiatan dan digelincirkan setan.
Allah berfirman,
إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ
“Hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyantun” (Ali ‘Imraan : 155).
Ayat di atas menerangkan bahwa apabila hamba digelincirkan setan hingga bermaksiat, namun di lubuk hati masih terdapat pengakuan bahwa dirinya telah berbuat dosa dan Allah mengetahui tatkala bermaksiat ada penyesalan dalam dirinya, bahwa ia benci akan kemaksiatan tersebut hingga sebagian di antara mereka ketika bermaksiat ada yang berangan-angan agar dirinya diwafatkan sebelum melakukan kemaksiatan tersebut, maka orang yang demikian ini sebenarnya orang yang masih mengagungkan Allah, akan tetapi dia belum diberi karunia berupa keimanan yang dapat menghalangi dari perbuatan maksiat.
Terkadang Allah mengujinya dengan kemaksiatan tersebut karena dia telah menghina orang lain, durhaka pada orang tua, atau memutus silaturahim sehingga Allah tidak menurunkan rahmat-Nya. Bisa juga dia menyakiti ulama atau salah seorang wali Allah sehingga Allah pun mengumumkan perang terhadap dirinya. Dengan demikian kondisi orang tersebut layaknya seorang yang sedang dihinakan meski dalam hatinya ia tidak ridha terhadap perbuatan tersebut.
Maka, orang yang bermaksiat tatkala bersendirian memiliki beberapa tingkatan. Ada yang bermaksiat dan memang bersikap lancang dan meremehkan Allah. Hal ini seperti tindakan sebagian pendosa ketika bermaksiat, dimana tidak ada seorang pun yang melihat dan memperingati dirinya, dia melakukan kemaksiatan tersebut dengan bangga, angkuh, dan pencemoohan terhadap Allah. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan dan melakukan berbagai perbuatan yang meremehkan kekuasaan Allah, tatkala seseorang menasehatinya dia pun menolak dengan penuh keangkuhan sehingga dirinya menganggap remeh keagungan Allah, agama dan syari’at-Nya. Orang ini secara lahiriah apabila berada di hadapan manusia dia tetap shalat dan berpuasa, namun jika bersendirian dia bermaksiat dan meremehkan keagungan Allah –wal ‘iyaadzu billah-. Orang yang demikian tentu tidak sama dengan mereka yang terkalahkan oleh syahwat, terfitnah dengan apa yang dilihatnya namun menyadari bahwa kemaksiatan yang dilakukannya dapat membawa musibah dan kehancuran. Dia mengerjakan kemaksiatan tersebut, namun hatinya tidak nyaman dengan maksiat tersebut, merasa terluka dan menyesal ketika telah melakukannya.
Dengan demikian, kandungan hadits Tsauban ini tidak bersifat mutlak. Kandungan dari hadits ini hanya mencakup mereka yang bermaksiat di kala bersendirian dan di dalam dirinya terdapat penentangan dan sikap meremehkan batasan-batasan Allah –wal ‘iyaadzu billah
.
Oct/rumahhufazh.or.id
______________________________________________________________
Ayo bantu program berantas buta huruf Al-Quran bersama LPI-RH. Enam puluh lima persen penduduk Indonesia masih buta huruf Al-Quran.
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan untuk membantu program kami.
LPI-RH melakukan penyaluran kepada lebih dari 20 penerima manfaat setiap bulannya, dengan penyaluran rata-rata 20 juta per bulan dan menghasilkan lebih dari 180 aktivitas pendidikan masyarakat per bulan.
Karena komitmen LPI-RH adalah mendorong SDM Pendidik dan Pendakwah membina masyarakat Islam. Kami peduli dan kami ajak Anda peduli.
Ayo donasi minimal Rp.100.000/bulan ke no.rekening,
BSM 70 9157 3525 a.n Yayasan Rumah Hufazh QQ Infaq
Konfirmasi ke 08961324556.